…. Pada waktu itu di desa tersebut terdapat sebuah pohon yang sangat besar. Penduduk menamakan pohon tersebut dengan nama pohon kayuara. Pohon kayuara ini sering dijadikan tempat memuja dan meminta-minta oleh masyarakat desa ini. Mereka selalu mengorbankan ayam hitam, ayam putih, ayam kuning, kambing hitam, kambing belang dan sesajian lainnya. Di bawah pohon kayuara ini mereka melakukan penyembahan. Mereka menganggap pohon kayuara adalah pohon yang angker dan keramat….
ALKISAH pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang tidak bernama hiduplah sekelompok masyarakat. Sekelompok masyarakat ini dipimpin oleh sesorang yang sangat sakti, gagah, berani, dan cerdik. Selain itu, pemimpin mereka juga sangat sabar. Masyarakat desa sangat patuh dan taat pada pimpinannya. Pimpinan mereka bernama Muning Munai. Pada saat itu, mereka membuat keputusan bahwa siapa yang paling sakti, paling kuat, paling gagah, dan paling berani, serta kebal dialah yang diangkat menjadi pimpinan. Setelah menentukan pimpinan mereka, mereka tunduk dengan perintah pimpinan mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat bercocok tanam. Mereka menanam padi, palawija, dan juga tanaman lainnya. Mereka juga membangun pondok untuk tempat tinggal dan mereka tinggal berpencar-pencar. Walaupun mereka tinggal terpencar-pencar, kehidupan mereka aman dan tenang. Tidak ada yang berani mengganggu.
Pada waktu itu di desa tersebut terdapat sebuah pohon yang sangat besar. Penduduk menamakan pohon tersebut dengan nama pohon kayuara. Pohon kayuara ini sering dijadikan tempat memuja dan meminta-minta oleh masyarakat desa ini. Mereka selalu mengorbankan ayam hitam, ayam putih, ayam kuning, kambing hitam, kambing belang dan sesajian lainnya. Di bawah pohon kayuara ini mereka melakukan penyembahan. Mereka menganggap pohon kayuara adalah pohon yang angker dan keramat.
Setelah beberapa lama perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut diketahui oleh Muning Munai. Muning Munai tidak tinggal diam. Dia segera berniat menasehati masyarakat desa untuk tidak lagi melakukan hal-hal tersebut. Ia pun meminta masyarakat berkumpul.
Setelah semua masyarakat berkumpul, Muning Munai berkata sangat halus, “Saudara-saudaraku, terimakasih sudah bersedia hadir pada pertemuan ini. Pada saat ini saya akan menyampaikan suatu yang sangat penting,” ucap Muning Munai memulai pembicaraan. Ia memandang ke seluruh warga yang hadir. Semua warga mendengarkan dengan baik apa yang disampaikannya.
”Saudara-saudaraku, saya mendengar dan telah melihat sendiri perbuatan sebagian besar masyarakat kita yang memasang sesajian dan menyembah di pohon kayuara.”
Muning Munai berhenti sejenak melihat ke semua yang hadir. Sebagian besar dari penduduk tertunduk, tetapi semuanya diam. Ia pun melanjutkan pembicaraannya, ”Saudaraku, perbuatan menyembah pohon adalah perbuatan yang tidak benar. Perbuatan tersebut termasuk syirik, yakni menyekutukan Allah.”
Semua terdiam, tidak ada yang berani membantah.
“Saudara-saudaraku, untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak terjadi kembali, bagaimana kalau saya mengusulkan agar pohon kayuara tersebut kita tebang saja.”
Sejenak semua terdiam mendengar usul yang disampaikan pimpinan mereka. Tidak ada satu pun warga yang membantah usul tersebut.
“Saya setuju pohon itu ditebang,” ucap salah satu warga.
“Saya juga setuju,” ucap beberapa warga yang lain. Sementara warga yang lain mengangguk setuju.
Akhirnya disepakati bahwa pohon kayuara akan ditebang.
Keesokan harinya, pagi-pagi hari penebangan pohon kayuara dimulai. Ternyata, untuk menebang satu pohon kayuara itu membutuhkan waktu seharian. Mereka menebang pohon dari pagi hingga sore hari. Ketika pohon ini akan roboh, tiba-tiba turun hujan panas yang sangat besar dan berwarna kuning. Setelah pohon itu tumbang, hujan tersebut tiba-tiba berhenti. Pohon kayuara yang telah ditebang tersebut berubah menjadi batu berwarna hitam. Karena peristiwa tersebut, masyarakat desa sepakat memberi nama desa yang tak bernama dengan nama Desa Kayuara Kuning (***)
Diceritakan kembali oleh Neny Tryana, S. Pd. (Guru SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III)
Cerita rakyat ini berasal dari Desa/Kelurahan Kayuara Kuning, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.