Tumpah Darah dalam Pertempuran Front Langkan di Banyuasin
Tidak banyak yang tahu bahwa sebuah kapal Inggris pernah jatuh di Musi Landas. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Banyuasin itu juga menjadi saksi sejarah pada peristiwa Front Langkan. Front Langkan ini sangat erat hubungannya dengan peristiwa Pertempuran lima hari lima malam di kota Palembang tanggal 1–5 Januari 1947.
Untuk menghindari jatuh korban yang lebih banyak, maka beberapa kali diadakan perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda di Palembang. Tercapai persetujuan penghentian tembak menembak (cease fire). Di dalam poin kesepakatan, Tentara Republik Indonesia (TRI) harus keluar dari kota Palembang dan Talang Betutu sejauh 20 km. Menurut perhitungan pihak TRI bahwa jarak 20 km dari Talang Betutu adalah sekitar Musi Landas. Sehingga semua pasukan termasuk Batalyon 30 Resimen 17 dan laskar-laskar diperintahkan mundur dan berkumpul di Musi Landas. Jadi Musi Landas dijadikan garis pertahanan TRI dan Laskar, karena pada waktu itu belum ada badan/komisi Arbitrase yang menentukan jarak 20 km tersebut.
Sebelum Belanda melancarkan agresinya yang pertama tanggal 21 Juli 1947, di Palembang terlebih dahulu sudah terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan perang lima hari lima malam tanggal 1 sampai 5 januari 1947. Bagi Belanda menduduki Palembang sangatlah penting, Palembang dapat dijadikan batu loncatan untuk menuju pulau Jawa. Selain itu dalam segi kekuatan militer dan politik pendudukan Palembang akan menjadi pukulan moral bagi pasukan lainnya di Sumatera karena di Palembang, ada organik Tentara Republik Indonesia (TRI) dan laskar yang terbaik persenjataannya. Untuk itulah Palembang harus diduduki dengan segala macam cara.
Perundingan tentang Musi Landas itu tidak berakhir baik. Belanda tidak mau menerima keberadaan TRI di Musi Landas sehingga pada tanggal 15 Januari 1947 pukul 07:00 pagi, serangan mendadak dilancarkan pihak kepada pasukan TRI di Musi Landas.
Pertempuran tidak bisa dihindarkan lagi. Pasukan TRI melakukan perlawanan dengan menembak sasaran yang tepat sambil mundur ke arah Desa Langkan, sedangkan dari pihak Belanda terus-menerus menggunakan keandalannya berupa persenjataan yang lebih modern. Serangan tersebut memang diniatkan memukul mundur pasukan TRI 57 dari Musi Landas yang menurut mereka masih terlalu dekat dari lapangan terbang Talang Betutu.
Tidak ada korban jiwa dalam pertempuran itu. Namun, niat Belanda berhasil. Pasukan TRI terpaksa harus mundur ke Langkan yang notabene memang berjarak 20-an kilometer dari Talang Betutu. Pada tanggal 15 Februari 1947, Desa Langkan pun ditetapkan menjadi garis pertahanan terdepan Indonesia oleh Komandan Batalyo 30 Resimen 17.
Pertempuran Front Langkan, Banyuasin
Di Desa Langkan sekarang bisa kita saksikan sebuah monumen berdiri tegak. Monumen itu dibangun untuk mengingat bahwa pertempuran dahsyat pernah terjadi di sana. Pasalnya, Langkan adalah garis terdepan pertahanan Indonesia setelah pasuka TRI dipukul mundur dari Palembang.
Wilayah Langkan sendiri sangat strategis karena wilayah itu memiliki perairan menuju Sekayu, Musi Rawas maupun Jambi. Perairan tersebut merupakan jalur yang harus diamankan guna menutup pergerakan Belanda. Oleh karena itu Front Langkan menjadi sangat penting untuk mematahkan jalur bebas perjalanan Belanda masuk melalui hubungan darat menuju daerah-daerah dimaksud.
Pasukan yang berada di Langkan bukanlah pasukan sembarangan. Mereka adalah prajurit istimewa, sering juga disebut pasukan seksi istimewa dengan nama Batalion XXX Resimen XLV. Letnan Muda A. Kosim Dahayat dengan wakilnya Om Muksin Syamsudin ditunjuk sebagai pemimpin untuk mempertahankan daerah Langkan.
Batalion XXX terdiri dari empat regu yaitu:
- Regu I: Sersan Satu A. Karim Umar Hasan
- Regu II: Sersan Satu Nazori
- Regu III: Sersan Satu Husin Thamrin
- Regu IV: Sersan Satu Was’an.
Pada saat itu untuk menghambat serangan Belanda, dibuatlah 2 kubu pertahanan. Pertahanan palsu dan pertahanan sebenarnya.
Kubu pertahanan palsu dibuat di wilayah yang banyak dilalui masyarakat maupun mata-mata Belanda. Kubu ini tidak terlalu diperkuat dengan tujuan untuk mengecoh pasukan Belanda sehingga mereka tertipu, seolah-olah pertahanan pasukan TRI berada di daerah yang mereka pertahankan. Bentuk pertahanannya antara lain dibuat pos pertahanan di pinggir jalan raya seperti yang ada di sekitar satu kilometer dari pos Belanda di Dusun Pulau. Pola pertahanan lain di kubu palsu ini sengaja melalui jalur aliran minyak milik perusahaan Belanda yaitu di daerah Keluang dan Supat. Jalur ini dijadikan jalur palsu bila nanti sewaktu-waktu diperlukan jalur minyak Belanda itu dapat dibakar sehingga menghambat pergerakan tentara Belanda. Sementara itu, kubu pertahanan yang sebenarnya terletak di kawasan Air Pucung yang lokasinya sangat dirahasiakan dilengkapi dengan lubang-lubang perlindungan dalam tanah dan lubang komando antarregu.
Pada jalan raya Palembang-Sekayu tanahnya digali, yang akan dibuat lubang pertahanan anti tank baja. Di sekitarnya ditanami rumput-rumput yang menjalar sehingga terkesan bahwa di sekitar ini tidak ada tanda-tanda pertahanan lubang anti tank. Lubang-lubang itu berukuran lebar 0,5 meter dengan kedalaman satu meter dan panjangnya 100 meter dapat menembus ke mana-mana. Para anggota Batalion memanfaatkan lubang perlindungan itu sebagai persembunyian guna melakukan penyerangan mendadak terhadap pasukan Belanda. Penyerangan dari lubang-lubang pertahanan ini dipimpin oleh Sersan Satu Yusuf Jepang.
Lubang-lubang perlindungan itu bersifat rahasia muaranya penuh dengan semak-semak. Pada tahun 1980-an lubang perlindungan itu masih bisa dilihat posisinya berada 200 meter di belakang rumah-rumah warga, namun karena banyaknya pembangunan pemukiman warga dan lahan sekitarnya dijadikan kebun karet oleh rakyat, maka lubang-lubang tersebut hilang dengan sendirinya.
Pada tanggal 17 Juli 1947, Batalyon XXX mengadakan perubahan dan penyegaran, yaitu perubahan nama dari Tentara Republik Indonesia (TRI) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Batalion XXX pun diserahterimakan kepada Kapten Oesman Bakar merangkap menjadi Komandan Sektor III Kiri Musi Banyuasin. Front Langkan menetapkan perbekalan dan perlengkapan Batalion XXX dipusatkan di Pangkalan Balai yang dikirim atas perintah Mayor Saroinsong dari Palembang.
Pada tanggal 21 Juli 1947, hari ketiga Ramadhan, lebih 4 kurang jam 06.00 pagi, Belanda mulai melancarkan agresinya dengan melakukan serangan besar-besaran ke Langkan yang didahului oleh tembakan meriam Gawetser dari jarak jauh. Setelah mendengar tembakan tersebut pasukan TNI segera menempati posisi masing-masing, dan pada akhirnya terjadi perang secara frontal antara pasukan TNI dengan pasukan Belanda. Pasukan TNI yang bersenjata Jukikanju melawan pasukan Belanda baik itu serangan udara maupun darat berupa pasukan tank dan senjata berat meriam Gawetser.
Sebenarnya, Pertempuran Front Langkan sudah dimulai sejak bulan Mei 1947. Belanda sudah melakukan serangan kecil yang sifatnya pancingan. Insidennya saat itu tiga tentara Belanda masuk ke Langkan menggunakan mobil jeep langsung menembaki pos front Langkan lantas mobil dan tentara Belanda itu langsung menghilang.
Pancingan ini menunjukkan tanda-tanda akan ada serangan dari pihak Belanda. Setelah bulan Mei, Sersan Mayor Ahmad Syarnubi beserta dua orang anak buahnya memeriksa garis demarkasi dan tentara Belanda telah lama mengintai di sana terjadilah lagi tembak menembak lebih kurang lima menit dan nasib tak beruntung bagi Prajurit Satu Sujar terkena peluru yang menggores bahunya dan terpaksa dibawa ke rumah mantri kesehatan Mabidin untuk diobati. Tembak menembak seperti ini sering terjadi kemudian Belanda melancarkan serangan bertubi-tubi secara serentak pada tanggal 21 Juli 1947 melalui semua jalur; darat, sungai maupun udara dengan menggunakan pesawat udara.
Pada peristiwa pertempuran yang sengit tersebut, perbandingan persenjataan serta peralatan tempur pasukan TNI tidak seimbang, namun banyak serdadu Belanda yang gugur, karena motto pasukan TNI adalah satu butir peluru yang ditembakkan sama dengan satu orang musuh. Melihat keadaan tersebut, Belanda mendatangkan lagi bala bantuan untuk menambah pasukan.
Untuk menembus pertahanan TNI dari arah depan, maka pihak Belanda pada saat itu mengalihkan serangannya kearah sayap kanan dari garis pertahanan TNI dengan mengunakan taktik untuk memblokade pasukan TNI. Pada akhirnya pasukan TNI kewalahan dan Komandan Oesman Bakar menyerukan agar pasukan untuk mundur menuju ke desa Pangkalan Panji pada pukul 15.00. Setelah pasukan mundur dibakarlah pertahanan minyak yang dipompa dari Keluang saat itu sehingga danau menjadi seperti lautan api, tujuannya hanya untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda sehingga pasukan TNI mampu mundur sambil merapikan barisan.
Pasukan TRI tetap tidak mau menyerah begitu saja meski sudah diserang Belanda habis-habisan. Hari berikutnya pasukan TRI dan anggota laskar melakukan perusakan jembatan-jembatan dengan tujuan memutuskan jalur jalan yang akan dilalui Belanda guna menghambat ruang gerak mereka untuk menghabisi pasukan Indonesia. Selain itu juga dilakukan lagi pembakaran minyak-minyak mentah yang sudah dialirkan di sungai-sungai sehingga api kembali membara di aliran sungai. Belanda menjadi repot dibuat siasat seperti ini sehingga pasukannya disibukkan untuk melakukan hal lain di antaranya mengebom tambang minyak di Keluang.
Penghambatan terhadap pasukan Belanda ini dilakukan TRI mulai dari Pangkalan Balai, Lubuk Lancang, Lubuk Karet, Betung dan Lais. Perlakuan menghambat gerakan pasukan musuh ini diperlukan bagi pasukan TRI untuk menyusun strategi dan kekuatan kembali diantaranya dengan membentuk front-front baru seperti di Sungai Guci, front Muara Teladan, dan front Sungai Keruh Tebing Bulang yang saat itu dikomandoi oleh Kapten Makmun Murod di Dusun Bailangu sekitar 5 kilometer dari Sekayu.
Malam harinya pihak Belanda belum berani maju melintasi pertahanan di Langkan. Satu regu selaku regu pengawal ditempatkan di desa Langkan. Dari desa Pangkalan Panji, Pasukan TNI terus mundur ke Desa Pangkalan Balai dan terus mundur ke Desa Seterio. Sesampainya di desa Seterio hari sudah siang dan pasukan TNI beristirahat.
Namun saat pasukan TNI sedang beristirahat di Desa Seterio tiba-tiba kapal terbang milik Belanda berputar-putar di atas Desa Seterio dan dengan gencarnya kapal terbang Belanda ini menembaki pasukan TNI yang sedang beristirahat. Setelah itu pasukan TNI terpaksa berlindung di bawah rumah penduduk dan di bawah kayu besar. Lebih kurang 2 putaran kapal terbang milik Belanda menembaki pasukan TNI tanpa mendapat perlawanan dari pasukan TNI.
Setelah aman dari kapal terbang Belanda, Pasukan TNI terus mundur ke Desa Lubuk Lancang. Setibanya di Lubuk Lancang Pasukan TNI membuat lubang pertahanan di bukit-bukit Lubuk Lancang. Belumlah selesai menggali lubang pertahanan sudah datang lagi kapal terbang Belanda, berputar-putar berkeliling menembaki pasukan TNI. Pada saat itu TNI tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa berlindung dalam lubang galian yang masih ala kadarnya dan sebagian lagi bersembunyi di bawah batang kayu yang besar.
Setelah keadaan kembali relatif aman dan kapal terbang Belanda sudah pergi, pasukan TNI terus mundur ke Betung dan Epil. Perjalanan mundur Pasukan TNI yang diiringi 6 tembakan terus-menerus dari kapal terbang Belanda tidak membuat gentar TNI walaupun tidak bisa membalas serangan balik.
Sementara itu Betung yang sudah hampir dikuasai oleh Belanda kembali bangkit. Pasukan TRI kembali bersemangat akan merebut kembali Betung. Komandannya dipimpin oleh Kapten Oesman Bakar yang menyusun strategi perang untuk menyerang pasukan Belanda di Betung.
Kapten Oesman Bakar dengan kekuatan 100 pasukan bersenjata lengkap memiliki kekuasan dua seksi yakni Seksi 1 dipimpin oleh Pembantu Letnan Kosim Dahayat dan A. Gatam Idrus. Pasukan ini bergerak sekitar pukul 10.00 malam dan bertemu dengan pasukan Belanda, pertempuran terjadi Belanda kalah dan mundur. Pasukan TRI masuk ke Betung dan Lubuk Karet langsung membangun pertahanan dalam wilayah Betung dan sekitarnya. Belanda merasa kalah di malam harinya sambil mundur ternyata menyerang kembali pada pagi harinya pukul 07.00. TRI dipimpin Kosim Dahayat dan A. Gatam Idrus yang berjuang mati-matian menghadapi Belanda bertempur empat jam saling uji kemampuan menyerang hingga pukul 11.00 siang akhirnya mundur terpaksa masuk Dusun Bailangu.
Untuk mengatur pertahanan selanjutnya, Kosim Dahayat memindahkan basis pertahanannya ke Sungai Guci yang tidak jauh dari Bailangu, namun ketika di Sungai Guci, komando langsung dipegang Kapten Makmun Murod dibantu oleh Letnan Dua Wahid Udin.
Front Langkan kemudian melanjutkan perjuangannya dengan basis barunya yaitu di wilayah Bailangu dan Sekayu Musi Ilir (sekarang menjadi Musi Banyuasin). Dua daerah yang terus menerus diincar Belanda yakni daerah Langkan dan Pangkalan Balai terus dipantau pergerakannya oleh pasukan Belanda karena dukungan laskar bantuan serangan dari masyarakat daerah ini selalu merepotkan tentara Belanda.
Selama pertempuran Front Langkan terjadi, perbekalan dan perlengkapan itu dibawa oleh Letnan Muda ALRI Juaini Ahmad yang sering dibantu rakyat Kenten sampai ke Pangkalan Balai. Sementara jika TRI terjadi kekurangan bahan makanan dibantu oleh Pesirah Lubuk Lancang yang menyuruh Zaini Makbud beserta anak buahnya pergi mencari bahan-bahan yang diperlukan ke Dusun Biyuku, Tanjung Laut dan Serdang. Tetapi semua seksi dipersiapkan di garis terdepan front Langkan.
Pada pertempuran tersebut, rakyat Banyuasin turut membantu perjuangan tentara dengan ikut berjuang semampu yang mereka bisa. Walaupun tidak melalui “angkat senjata” berperang melawan Belanda, masyarakat seringkali mengulurkan bantuan kepada tentara Indonesia di front Langkan dalam bentuk makanan seadanya. Taktik mereka memberikan makanan antara lain dengan sambil berpura-pura akan ke kebun dan ladang. Banyak orang (lewat anak-anak) yang sering mengantarkan nasi bungkus ke front Langkan untuk para pejuang meskipun jaraknya sekitar tujuh kilometer dari Pangkalan Balai.
Perjuangan masyarakat Banyuasin lain datang dari Laskar Napindo yang dipimpin H. Bujang dan Matjik Maenan yang bertugas menjaga tepi Sungai Musi di sekitar Langkan. Hal ini diperlukan untuk menjaga agar tidak ada pasukan Belanda yang masuk melalui Sungai Air Asin. Selain itu juga ada Laskar Hisbullah pimpinan A. Toyib dan Sahulik sebagai pasukan cadangan untuk memantapkan penjagaan di Front Langkan.
Pada daerah perbatasan juga dibentuk satu regu tangguh dengan kemampuan berenang yang banyak memantau sekitar Sungai Musi. Regu istimewa ini personilnya antara lain Sersan Mayor Muksin Syamsuddin selaku Komandan dengan beberapa anggota seperti Sersan Nazori, Sersan M. Diah, Sersan A. Zaini, Kopral Pahri, Kopral Nur Muhammad, Prajurit Satu Syamsudin, Prajurit Satu Zainudin, Prajurit Satu Zainuri, Prajurit Satu A. Muzir.
Pertempuran di Langkan antara pasukan TNI dan pasukan Belanda sangat dahsyat. Dalam pertempuran itu banyak serdadu Belanda yang gugur dan menjadi kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan. Karena itulah pasukan Belanda menamakan pasukan TNI yang ada di desa Langkan dengan nama Setan Desa Langkan.
Demikianlah Pertempuran Front Langkan di Banyuasin. Pertempuran itu pun “diabadikan” dalam Monumen Front Langkan. Dalam Monumen Front Langkan tercatat 69 pejuang termasuk tenaga medis dan perwira meninggal dalam perang lima hari lima malam. Monumen Front Langkan dibangun oleh Bupati Banyuasin Amirudin Inoed untuk mengenang jasa para pahlawan yang tewas di medan perang tersebut.