Zaman dahulu hiduplah seekor kerbau yang mempunyai tiga anak manusia. Semua anaknya perempuan. Anaknya yang pertama bernama Putri Lebak, anaknya yang kedua Putri Penengah, dan anaknya yang bungsu bernama Putri Rinduwati. Kerbau itu menitipkan anaknya ke masing-masing rejung (bambu muda).
Seiring bertambahnya waktu, rejung tersebut membesar dan anak-anak kerbau pun menjadi dewasa. Mereka pun telah menemukan jodohnya masing-masing. Mereka juga masing-masing mempunyai rejung.
Suatu hari si kerbau mencari tiga anaknya untuk melepas kerinduannya. Si kerbau mencari anak pertamanya Putri Lebak. Ia bertanya dengan seorang petani yang sedang di sawah.
“Wahai petani, di mana anak pertamaku Putri Lebak?”
“Di sana, di rejung yang besar. Di sana Putri Lebak tinggal bersama suaminya,” jawab petani.
“Terima kasih,” jawab si kerbau.
Segera kerbau menemui Putri Lebak di dekat rejung yang besar.
“Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku,” bertutur kerbau dengan dengan nada sangat lembut sambil berjalan menuju tempat Putri Lebak.
Setelah sampai di rejung yang besar tempat Putri Lebak. Si kerbau masuk ke rumah Putri Lebak.
“Anakku Putri Lebak, apa kabarmu?”
“Siapa kau?”
“Aku ibumu, anakku. Aku sangat rindu padamu.”
“Bohong!” teriak Putri Lebak dengan kasar.
“Benar anakku, aku ibumu.”
“Tidak mungkin! Tidak mungkin aku mempunyai ibu yang jelek seperti kamu!”
“Demi Tuhan anakku, Ibu tidak bohong. Aku Ibumu. Ibu yang melahirkanmu,” jawab si kerbau sambil menangis.
“Pergi kau dari hadapanku, aku tidak sudi punya ibu seekor kerbau jelek sepertimu,” hardik Putri Lebak.
Si kerbau mencoba bertahan di tempat Putri Lebak. Melihat si kerbau tetap bertahan, Putri Lebak mengambil batu yang besar dan langsung melemparkan batu besar tersebut ke kepala ibunya. Sambil merasakan kepedihan yang dalam, kerbau pergi dari tempat anaknya.
Kerbau pun melanjutkan perjalanannya mencari putri keduanya, yakni Putri Penengah. Dalam perjalanannya, kerbau bertemu dengan seorang nelayan.
“Wahai nelayan, di mana anakku Putri Penengah?” tanya si kerbau kepada nelayan tersebut.
“Putri Penengah ada di rejung yang besar. Di sana ia hidup dengan suaminya,” jawab nelayan.
“Terima kasih,” kata si kerbau.
Tanpa membuang waktu kerbau langsung pergi menemui Putri Penengah.
Sambil berjalan menuju tempat Putri Penengah, kerbau kembali bertutur dengan nada sangat lembut, “Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku.”
Setelah lama berjalan, sampailah si kerbau di rejung yang besar tempat Putri Penengah tinggal.
“Putri Penengah anakku, bagaimana kabarmu?”
“Siapa kau?”
“Aku Ibumu, anakku.”
“Bohong! Aku tidak punya ibu sepertimu.”
“Benar anakku, aku Ibumu.”
“Jangan membual. Enyahlah kau sekarang. Aku tidak punya ibu seekor kerbau, bau dan jelek sepertimu!” teriak Putri Penengah sambil melemparkan sebuah batu besar. Batu besar yang dilempar Putri Penengah tepat mengenai kepala si kerbau. Darah segar langsung mengucur deras dari kepala si kerbau.
Dengan hati yang sedih dan sambil menahan sakit karena luka di kepalanya ia pun pergi dari tempat anaknya Putri Penengah. Si kerbau merasakan luka di kepalanya sangat sakit. Namun, sakitnya tidak seberapa dibandingkan sakit hatinya karena perlakuan kedua anaknya.
Si kerbau pun melanjutkan perjalanan mencari anak ketiganya, Putri Rinduwati. Dalam perjalannya ia bertemu dengan seorang yang sedang menjemur padi.
“Wahai seorang penjemur padi, di manakah anakku Putri Rinduwati?”
“Putri Rinduwati ada di rejung yang besar di sana. Ia hidup dengan suaminya.”
“Terima kasih,” ucap si kerbau senang.
Si kerbau pun langsung pergi menuju rejung tempat Putri Rinduwati. Dalam perjalanannya, kerbau kembali bertutur dengan lemah lembut, “Putri Lebak, Putri Penengah, Putri Rinduwatiku.”
Cukup lama ia berjalan hingga sampailah ia setelah sampai di rejung yang besar tempat putrinya, Putri Rinduwati. Mendengar ibunya menyair namanya, Putri Rinduwati pun mendekati si kerbau. Segera dibersihkannya darah-darah yang mengalir dari kepala si kerbau. Luka di kepala si kerbau segera diobatinya. Putri Rinduwati pun mengajak si kerbau tinggal dengannya. Putri Rinduwati sangat menyayangi si kerbau. Sikapnya sangat berbeda dengan kedua saudaranya. Ia tidak pernah bersikap kurang ajar dengan ibunya. Akan tetapi, mereka tinggal bersama tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian si kerbau, yakni ibunya meninggal dunia.
Suatu hari setiap orang lewat di depan rejung milik Putri Lebak, mereka mengisi rejung besar tersebut dengan kotoran-kotoran hewan dan batu-batuan. Karena terlalu banyak, rejung tersebut jatuh dan menimpa rumah Putri Lebak. Demikian juga ketika orang-orang lewat di depan rejung milik Putri Penengah. Orang-orang menganggap rejung milik Putri Penengah sangat jelek hingga mereka mengisi rejung tersebut dengan kotoran-kotoran dan batu-batuan. Rejung tersebut pun jatuh dan menimpa rumah Putri Penengah. Sementara itu, orang-orang pun lewat di depan rejung milik Putri Rinduwati. Mereka mengisi emas dan uang ke rejung tersebut. Semua ini adalah balasan bagi Putri Rinduwati yang berbakti pada ibunya. Balasan yang jahat menimpa Putri Lebak dan Putri Penengah yang durhaka pada ibunya.
Diceritakan kembali oleh Neny Tryana, S. Pd. dan Biduri Bulan
Cerita rakyat ini berasal dari Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.