…. Setelah cucunya beranjak dewasa, ketib memerintahkan keempat cucunya yang laki-laki untuk pergi dari Ngelebung dan merantau, mencari penghidupan ke tempat lain. Semua cucunya melaksanakan perintah kakeknya. Urip pergi ke arah utara, Sirah ke arah barat, Teladan menyelusuri sungai menuju ke hulu, yaitu ke arah Desa Rantau Bayur, dan Waras juga menyelusuri ke hulu, yaitu ke arah Sungai Keruh Musi Banyuasin. Cucu perempuan satu-satunya, yaitu Untung tetap tinggal dan menemukan jodohnya di tempat tersebut….
Pada zaman dahulu, di masa penjajahan Belanda, di hulu sungai Musi terdapat sebuah kampung yang penduduknya telah beragama Islam. Kampung itu bernama Benakat. Di kampung itu hiduplah satu keluarga ketib (tokoh agama Islam). Keluarga ketib ini memiliki satu anak perempuan yang beranjak dewasa bernama Ayu yang sangat cantik jelita.
Suatu hari lewatlah seorang opsir Belanda di kampung Benakat. Secara kebetulan opsir bertemu Ayu. Melihat kecantikan Ayu, opsir langsung tertarik.
“Alangkah cantiknya gadis ini. Gadis secantik ini tidak akan akan aku sia-siakan. Aku harus mendapatkan gadis ini,” katanya dalam hati.
Mengetahui Ayu anak seorang ketib, datanglah opsir Belanda kepada ketib. Dengan percaya diri yang tinggi, ia langsung mengemukakan maksud kedatangannya, yakni untuk meminang Ayu dan akan dijadikan selir. Opsir tidak mengetahui bahwa ketib sangat membenci Belanda. Pinangan opsir, langsung ditolak oleh ketib. Akibatnya, opsir Belanda menjadi marah besar. Ia mengancam dengan menggunakan kekuasaannya. Isi ancamannya sangat membuat hati kecut siapa pun yang mendengarnya. Opsir memberi batas waktu kepada ketib untuk mempertimbangkan lamarannya. Bila batas waktu yang ditentukan, ketib masih tetap menolak pinangannya, opsir mengancam akan membunuh semua keluarga ketib, tanpa kecuali.
Demi keselamatan keluarganya, sebelum batas waktu yang ditentukan tiba, pergilah ketib bersama keluarganya meninggalkan kampung Benakat. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ketib membawa istri dan anaknya Ayu menaiki sebuah kawah besar yang terbuat dari besi (wajan besi untuk memasak nasi) sebagai perahu. Kawah tersebut terus hanyut hingga ke hilir mengikuti arus Sungai Musi.
Beberapa hari lamanya terombang- ambing mengikuti arus sungai, terdamparlah mereka di sebuah hutan di pinggiran Sungai Musi. Karena diangggap aman, menetaplah mereka di hutan tersebut. Hutan tersebut belum ada penghuninya. Pada saat itu hidup mengasingkan diri seperti yang mereka lakukan disebut ngelebung.
Suatu hari tersesatlah seorang pemuda dan tiba di tempat tinggal ketib. Pemuda tersebut berasal dari Palembang. Ia melarikan diri dari kejaran Belanda. Ia pun menetap di tempat tersebut hingga bertahun-tahun.
Setelah beberapa tahun mengenal Ayu dan keluarganya, pemuda tersebut memberanikan diri melamar Ayu. Lamarannya diterima dengan senang hati oleh keluarga ketib. Pernikahan pun dilaksanakan.
Dari pernikahan mereka lahirlah cucu-cucu ketib, yaitu empat orang anak laki-laki yang bernama Urip, Sirah, Waras, dan Teladan, serta satu perempuan yang bernama Untung.
Setelah cucunya beranjak dewasa, ketib memerintahkan keempat cucunya yang laki-laki untuk pergi dari Ngelebung dan merantau, mencari penghidupan ke tempat lain. Semua cucunya melaksanakan perintah kakeknya. Urip pergi ke arah utara, Sirah ke arah barat, Teladan menyelusuri sungai menuju ke hulu, yaitu ke arah Desa Rantau Bayur, dan Waras juga menyelusuri ke hulu, yaitu ke arah Sungai Keruh Musi Banyuasin. Cucu perempuan satu-satunya, yaitu Untung tetap tinggal dan menemukan jodohnya di tempat tersebut.
Untung dan suaminya memperluas wilayah tempat tinggal mereka sampai ke suatu sungai yang diberi nama Rimba Bulian. Sejak itulah tempat yang menjadi tempat tinggal Ketib dan keluarganya dinamakan Ngelebung.
Lama-kelamaan penduduk Ngelebung bertambah banyak dan berkembanglah menjadi sebuah kampung yang akhirnya menjadi sebuah dusun bernama Lebung. Dusun Lebung sekarang lebih dikenal dengan nama Desa Lebung. Karena kesaktian ketib membuat kawah menjadi perahu sebagai kendaraan, ia kemudian dikenal dengan sebutan “Puyang Perahu Kawah”.
Diceritakan kembali oleh Neny Tryana, S. Pd. (Guru SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III)
Cerita rakyat ini berasal dari Desa Lebung, Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.