ZAMAN dahulu di sebuah daerah banyak terdapat beberapa suku. Di antara suku-suku yang ada terdapat suku Suakbara dan suku Lubuk Lancang. Kedua suku ini terkenal akan kehebatan kepala sukunya. Masing-masing suku mempercayai bahwa kepala suku mereka paling hebat.
Suku Suakbara memiliki tempat kekuasaan yang luas. Begitu juga dengan suku Lubuk Lancang. Kedua suku ini memiliki hubungan yang baik. Apalagi banyak dari anggota suku Suakbara maupun Lubuk Lancang melakukan pernikahan.
Suku Suakbara terkenal akan ketangkasan para pemudanya saat melakukan perang dengan musuh-musuh mereka. Dengan menggunakan peralatan perang yang lengkap dan tradisiona berupa tombak bambu, panah runcing, ketapel, dan batu-batu yang dipahat dengan bentuk runcing yang dapat melukai musuhnya.
Suku Lubuk Lancang pun tak kalah terkenal. Mereka memiliki kecerdikan yang luar biasa saat melakukan perang. Kecerdikan ini dimiliki semua anggota suku. Mereka dapat melakukan hal-hal di luar logika manusia. Mereka menggunakan cara-cara yang tidak terlihat oleh musuh. Mereka dapat melakukan penyamaran, membuat makanan beracun, ataupun melakukan hal-hal yang tidak dapat ditebak oleh manusia.
Suatu hari kepala suku Suakbara dan suku Lubuk Lancang melakukan pembicaraan. Dalam pembicaraan yang singkat itu, mereka membahas masalah tempat kekuasaan mereka. Saat itu Pangkalan Balai tidak memiliki penguasa yang sah. Masing-masing mereka menginginkan Pangkalan Balai masuk walayah kekuasaan mereka dan tidak ada yang mau mengalah.
“Karena masing-masing kita ingin memiliki Pangkalan Balai, saya punya usul bagaimana kalau kita berperang saja,” usul Kepala Suku Suakbara.
“Perang? Kita kan bersaudara dan selama ini selalu berhubungan baik. Mengapa harus perang. Apa tidak ada jalan lain?” jawab Kepala Suku Lubuk Lancang.
“Tidak ada. Karena masing-masing kita tidak ada yang mau mengalah, kita harus perang. yang menang yang akan menguasai Pangkalan Balai.”
“Sebenarnya aku sangat keberatan dengan usulmu. Akan tetapi, kalau engkau memaksa, aku tidak mungkin menolak.”
Percakapan pun selesai. Masing-masing kepala suku mengumumkan akan diadakan peperangan. Peperangan akan dilaksanakan di tengah-tengah perbatasan daerah Suakbara dan Lubuk Lancang.
Sesuai dengan rencana, perang pun berlangsung dan masing-masing dipimpin oleh kepala suku yang sudah tua itu. Pasukan yang ikut berperang dari kedua suku kebanyakan pemuda-pemuda. Semangat kedua suku yang berperang sangat luar biasa. Dalam peperangan itu, banyak pasukan dari kedua suku yang tewas. Setelah lama berperang, akhirnya pasukan suku Suakbara berhasil memenangkan peperangan. Akan tetapi, suku Lubuk Lancang belum bisa menerima.
“Kita harus kembali bertarung, setelah pertarungan ini siapa yang menang dialah yang akan menguasai Pangkalan Balai,” ujar kepala suku Lubuk Lancang.
“Sebenarnya aku tidak setuju. Kami kan sudah menang, tapi… baiklah tidak masalah. Kami yakin pasti akan kembali memenangkan pertarungan. Sekarang, pertarungan bagaimana yang kamu inginkan?” jawab kepala suku Suakbara.
“Kita bertarung tarik tambang di tengan laut.”
“Baik. Kami setuju.”
Untuk kedua kalinya perang kembali diadakan. Mereka berlomba tarik tambang di tengah laut sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat. Dalam peperangan itu, pasukan suku Lubuk Lancang yang sedikit tidak sebanding dengan suku Suakbara yang banyak. Pertarungan tarik tambang di tengan laut itu kembali dimenangkan oleh suku Suakbara. Sejak saat itu Pangkalan dan Suakbara bergabung menjadi satu (***)
Diceritakan kembali oleh Neny Tryana, S. Pd.
Cerita rakyat ini berasal dari Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.