Pangeran Barasa | Cerita Rakyat Sulawesi Selatan (Bagian II)

Pangeran Barasa adalah cerita rakyat Sulawesi Selatan. Baca dulu bagian I, ya.

Dalam sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dikenal sebagai kerajaan yang tangguh. Bahkan, di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa mampu menaklukkan dan mengambil alih beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan.

Berita kejayaan Kerajaan Barasa (Kerajaan Siang), termasuk kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya sampai juga di telinga Karaéng Gowa. Ada beberapa kerajaan kecil di Kerajaan Barasa, yang berpihak pada Karaéng Gowa, bahkan menjadi kerajaan boneka. Salah satunya adalah Kerajaan Allu.

Di tengah kejayaan Kerajaan Siang, saat itu Karaéng Gowa sedang berperang melawan Arung Palakka (Pangeran Bone) atau yang dikenal juga sebagai Karaéng Tunisomba, orang yang disembah. Akan tetapi, Karaéng Tunisomba lebih lihai. Ia sudah mengetahui rencana Karaéng Gowa. Ia bersama pengikutnya melarikan diri ke suatu tempat yang tidak bisa diketahui oleh Karaéng Gowa.

Dalam pelariannya itu, Arung Palakka kemudian berpikir untuk mencari kawan yang dapat mengimbangi kekuatan Gowa. Dalam situasi perang antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa, Oppo Paccellang, I Kare Tappa, mendengar keinginan Raja Bone. Oppo Paccelang termasuk salah seorang pemimpin kerajaan di Barasa yang bersimpati dan mendukung gerakan Karaéng Tunisoba (Arung Palakka) dalam melawan Karaéng Gowa).

Lalu, Oppo Paccelang menyerukan kepada adiknya, I Longakkang . “Longakkang! Mari kita naik ke Balla Lompowa berjumpa dengan Karaéng Allu, sekaligus kita mencari kabar yang menimpa Karaéngta Tunisomba. Kita harus mengetahui bagaimana keputusan dan pendiriannya, apakah dia masih mencari kawan yang kekuatannnya dapat menyeimbangi pasukan Kerajaan Gowa?”

“Baik, Karaéng, kita akan menghadap bersama!”

Lalu, kedua bersaudara tersebut segera bersiap. Mereka mengenakan baju adat, jas tutup hitam dan sarung sabbe yang dilengkapi songko pamiring berlapis emas. Mereka kelihatan sangat berwibawa.

Itulah kebiasaan yang mereka harus lakukan, mappakaraja ‘menghargai’ jika ingin menghadap pada raja. Maka berjalanlah mereka menuju Balla Lompowa. Selanjutnya, dua bersaudara tersebut bertemu dan diterima baik oleh Karaéng Allu.

“Pamomporika Karaéng, ampun Karaéng. Kami datang ke sini untuk suatu maksud. Semoga Karaéng berkenan menerima kami!”

“Mari, silakan oppo dan longakkang duduk dan kita berbincang-bincang.”

Mereka bertiga pun asyik memperbincangkan keinginan dan rencana Karaéng Tunisomba (Arung Palakka) sekaligus mereka ingin mengetahui sikap Karaéng Allu. Di situ hadir pula Boto Lempangan, yang saat itu sedang mencari perlindungan pada Karaéng Barasa. Sebelum memberi tanggapan, terlebih dahulu Karaéng Allu memberi kesempatan Oppo Paccellang memberi pendapat. “Oppo, apa pendapatmu tentang kedatangan Karaéng Tunisomba mencari lawan yang seimbang dengan Kerajaan Gowa?”

Ya, semoga saja bukan yang dikatakan dan dikhawatirkan oleh Boto Lempangang tadi. Bahwa, apabila ia memilih pasukan yang dikenal sebagai Belanda, yang katanya badannya putih, matanya putih, rambutnya putih, dan tak satu pun di antara kita di sini yang paham bahasanya. Bahasanya sangat asing dan sangat tidak akrab di telinga kita. Dalam pertemuan itu, Oppo Lompapassang dan Longakkang hanya manggut-manggut mendengar pendapat Karaéng Allu yang selalu ditimpali oleh Boto Lempangan. Mereka berdua sudah bisa memahami ke arah mana keberpihakan Karaéng Allu. Tanpa duduk lama, dua bersaudara itu memohon diri kepada Karaéng Allu.

Sambil berdiri, berserulah Boto Lempangan. “Kedatangan Belanda pasti akan menjajah di bumi kita, dan akan mengambil alih wilayah kerajaan kita, kerajaan akan semakin kecil, bahkan dihabisi oleh mereka. Sombangku, pikirkanlah!”

Sebelum dua bersaudara itu beranjak dan pamit, tiba-tiba ada waktu bersamaan, Pangeran Joro’ bersama ketiga adiknya. Akhirnya, mereka berempat menerima rombongan yang baru datang dari Kerajaan Sombaopu, Gowa tersebut.

Mereka adalah hamba Karaéngta Sombaopu. Mereka bersaudara kandung empat orang, semuanya pemberani, yaitu anak tertua bernama I Kare Jo’ro (Pangeran Jo’ro), kemudian I Kare Sijara, I Kare Jannang, dan I Kare Gappa. Bersama anak dan istrinya masing-masing mereka naik ke Balla Lompowa, ingin menghadap kepada Karaéng Allu. Karaéng Allu pun menerima mereka dengan baik.

Akhirnya, mereka terlibat perbincangan tentang Karaéngta Tunisomba, Arung Palakka.

“Apa yang membawamu datang kemari, wahai Jo’ro? Kamu datang berempat, bersaudara beserta istri dan anak-anakmu. Adakah yang diperintahkan oleh Karaéng Sombaopu?”

“Saya tidak diperintah Karaéng, hanya saja saya yang ingin sendiri datang kemari bertatap muka dengan Karaéng,” jawab I Jo’ro.

“Saya bertanya kepada kamu, Jo’ro, karena kamu baru saja dari Kerajaan Gowa. Apakah kamu tahu di mana sekarang Tunisomba berada? Di pulau mana mereka bersembunyi?”

“Konon,sekarang Karaéngta Tunisomba beserta pasukannya berada di Bone, Karaéng.”

Saat itu, dua bersaudara, I Lompapasang dan I Longakkang, bermaksud pamit kembali, karena sudah menjelang sore. Pulanglah I Lompapassang ke rumahnya.

Pada saat itu juga, Pangeran Jo’ro mengutarakan niatnya untuk tinggal di rumah Oppoka Paccelang, I Lampapassang. “Karaéng, izinkan saya tinggal di rumah Oppoka Paccellang.”

Karaéng Allu berujar, “Apakah kamu kenal juga dengan Oppoka Pacccelang?”

“Iya, Karaéng. Saya mengenalnya waktu saya datang mengantar Karaéng Matinrowa Bonto Gammisi ketika masih berkuasa di Kerajaan Allu. Kebetulan waktu itu sudah hadir Oppoka di Paccellang bersama I Longakkang di istana Balla Lompowa. Mereka datang secara tiba-tiba dari Gowa. Waktu itu saya diperintahkan oleh Karaéng Sombaopu. Itulah sebabnya, Karaéng, saya datang membawa kamu turun kemari dan secara tiba-tiba ada di Balla Lompowa dan Oppoka Paccellang sudah ada sebelum saya tiba di Balla Lompowa, dia bersama seseorang yang bernama I Longakkang. Waktu itu, saya duduk bersamasama Karaéng, dengan Oppoka Paccellang. Jadi, saya mengenal baik mereka berdua, Karaéng, terutama Oppoka Paccellang yang sangat baik kepada saya.”

Setelah mendengar cerita Pangeran Jo’ro, Karaéng Allu memerintahkan untuk tinggal bersama dengan Oppo Paccellang. “Silahkan kamu pergi, wahai Pangeran Jo’ro. Tinggallah di kediaman Oppoka Paccellang.”

Lalu pergilah Pangeran Jo’ro. Maka, Oppoka Paccelang dengan senang hati menerima maksud Pangeran Jo’ro sekeluarga untuk tinggal bersamanya. Selama tinggal di rumah Oppo Paccellang, Pangeran Jo’ro dengan Oppo Paccelang senang berdiskusi tentang kejayaan Kerajaan Barasa, termasuk dukungan mereka terhadap gerakan Karaéngta Tunisomba, Arung Palakka.

“Bagaimana pendapatmu, Oppo? Siapa gerangan yang akan Karaéng perintahkan untuk mendampingi Karaéngta Tunisomba? Oppo ‘kan juga harus memikirkan bagaimana caranya agar negeri kekuasaan kita, Kerajaan Barasa, dapat kita rebut kembali, tetapi harus dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”

“Oppo, seandainya saya sebagai rakyat Kerajaan Barasa atau Siang, saya bersedia untuk ikut mendampingi Karaéngta Tunisomba, Aru Palakka.”

Pangeran Jo’ro Bersama Tunisombaya (Arung Palakka) Berangkat ke Tanah Jawa

Mendengar maksud baik Pangeran Jo’ro, oppo itu pun sangat senang. Ia pun bermaksud mengirim beberapa orang yang akan mendampingi Arung Palakka. Berarti itu adalah hal terbaik untuk kerajaan, pikirnya.

Untuk kejayaan negerinya, Oppo Paccelang, bermaksud memanggil beberapa orang panglima dan penasihatnya untuk mempertimbangkan maksud baik Pangeran Jo’ro tersebut.

“Baik, Jo’ro, sungguh mulia niatmu itu, engkau memang seorang prajurit sejati. Engkau sungguh bertanggung jawab. Semoga niatmu itu mendapat restu dari penasihat dan panglimaku yang lain. Izinkan saya memanggil mereka.”

Kemudian, Oppo Paccelang memanggil I Kare Baru-baru, I Kare Lesang, I Kare Kajuara, I Kare Sengkaya, dan I Kare Pallateyang untuk berbincang-bincang. Dia pun menyampaikan hal yang baru dibicarakannya dengan Pangeran Jo’ro.

Setelah mereka berkumpul, I Kare Pallate yang mulai membuka pembicaraan. “Ada apa gerangan engkau memanggil kami, Tuan? Katakanlah apa yang akan engkau sampaikan kepada kami sebab sekarang kami sudah ada di depanmu.”

Dengan merendahkan suaranya, Oppo Paccellang, I Lompapassang berujar, “Jangan ribut, kecilkanlah suaramu. Jangan sampai terdengar di telinga Karaéng Allu. Kusampaikan kepada kalian bahwa sekarang ini kita tidak punya apa-apa lagi semenjak kita sudah menjadi hamba taklukkan Kerajaan Gowa. Itulah sebabnya saya panggil kalian semua datang kemari untuk menanyakan siapakah gerangan di antara kalian yang bersedia ikut dengan Tunisomba Arung Palakka, berkelana mencari kedaulatan negeri Siang ini?”

Setelah tiga kali I Lompapassang mengulang kata- katanya itu, barulah kelima Kare tersebut bersedia memberikan jawabannya. Mereka rupanya berpendapat sama. “Kami tidak sanggup, Karaéng! Lagi pula kami takut pembicaraan kita ini terdengar oleh Karaéng Allu. Kalau saja kami menyatakan bersedia ikut serta menggabungkan diri dalam gerakan Tunisomba, sudah pasti anak istri kami yang akan merasakan penderitaan. Itulah pilihan sikap kami karena kami yakin tidak ada Karaéng dari Kerajaan Siang yang berani ikut serta pergi bersama- sama Tunisomba Arung Palakka.”

Mendengar keputusan kelima Kare tersebut, dengan spontan Pangeran Jo’ro berkata, “Tidak demikian seharusnya, Karaéng! Sebaiknya ada di antara kita yang mewakili Kerajaan Siang ini. Kalau demikian, saya adalah salah satu orang dari Kare Siang yang akan mengatakan bahwa sayalah sendiri yang akan bergabung dengan Tunisombaya. Saya hanya memikirkan kedaulatan dan ingin memulihkan harga diri Kerajaan Siang ini.”

Mendengar ucapan Pangeran Jo’ro, I Lompapasang, I Loramba, I Janggo Bodo dan I Longakkang membalas dengan berujar, “Biarpun kau bukan salah seorang dari Kare Siang, tetapi kami merestui kamu yang pergi. Berjuanglah kamu saudaraku Pangeran Jo’ro. Apabila kamu mendapat keberuntungan, kita akan tetap bersama. Kebaikan dan perjuanganmu tidak dapat saya tanding Pangeran Jo’ro. Tidak akan ada kedaulatan di Siang apabila kamu tidak ada.”

Pangeran Jo’ro berujar, “Baiklah Oppo kalau itu yang kamu katakan. Kita bersaudara di dunia hingga akhirat. Biar saya yang pergi. Apabila saya mendapat keberuntungan, kita saling memberi kebaikan dan saling menjauhkan diri dari kejahatan.”

I Lompapassang berujar, “Iya, saya setuju dengan ucapanmu, kita akan bersaudara di dunia hingga akhirat.”

Jo’ro berujar, “Baiklah, Oppo, kalau itu yang kamu ucapkan, saya yang akan pergi. Izinkan dahulu saya pergi ke Tanete membawa anak dan istri saya. Apabila sampai di Tanete, saya akan langsung menemui Karaéng Tunisomba.”

Pergilah Pangeran Jo’ro. Dia berjalan turun ke Kerajaan Tanete. Dia sampai dan bertemulah dengan Karaéng Tanete.

Karaéng Tanete berujar, “Jo’ro, apakah kamu datang kemari karena kamu utusan Karaéng Gowa dan mencari Tunisomba yang akan pergi mencari lawan seimbangnya Gowa?”

Pangeran Jo’ro berujar, “Apabila Karaéng baik kepada saya, saya juga akan baik kepada Karaéng. Sebaliknya, apabila Karaéng jahat kepada saya, saya juga akan jahat kepada Karaéng.”

Karaéng Tanete berujar, “Baiklah, saya akan pegang baik-baik ucapanmu, Jo’ro.”

Karaéng Tanete bersegera mengantar I Jo’ro oleh menemui Karaéng Tunisomba, Arung Palakka. Kemudian disampaikanlah niat baik I Jo’ro. Saat itu, Arung Palakka ragu atas niat I Jo’ro sebab dia tahu I Jo’ro adalah rakyat Karaéng Sombaopu dari Gowa.

“Jo’ro, niat kedatanganmu kemari karena kamu adalah hamba dari Karaéng Gowa?”

Pangeran Jo’ro berujar, “Sombangku, kedaulatan tanah di Sianglah yang membawaku datang kemari. Dengan lebih dahulu meminta persetujuan Oppoka Paccellang beserta sanak saudaranya, mereka semualah yang memerintahkan agar saya mendampingi Sombangku, Karaéng Tunisomba.”

Mendengar jawaban Pangeran Jo’ro, Arumpone pun mulai bertanya untuk mengorek siapa gerangan Pangeran Jo’ro ini, mungkinkah ia benar-benar di pihaknya?

“Ada hubungan apa kamu dengan Opoka Paccellang, hai, Jo’ro?”

Pangeran Jo’ro menjawab, “Sombangku, dia adalah paman saya.”

“Siapakah namanya?” timpal Arumpone penasaran.

“Namanya I Lompapassang. Dia adalah Oppo Paccellang, Karaéng,” jawab Pangeran Jo’ro.

Arumpone kembali bertanya, “Berapakah engkau bersaudara?”

Pangeran Jo’ro menjawab, “Saya empat bersaudara, tiga laki-laki dan seorang perempuan. Anak sulung laki-laki namanya I Lompapasang, lalu I Loramba (perempuan), kemudian I Janggo Bodo dan I Longakkang.”

Setelah merasa cukup memahami dan memercayai ucapanmu Pangeran Jo’ro’, Karaéng Tubisomba berkata, “Saya pegang kata-katamu Jo’ro. Sekarang kamu boleh bergabung dengan pasukan saya.”

Setelah itu, pergilah Tunisomba ke timur, yaitu ke negeri Butung (Kerajaan Buton). Ikut pula Pangeran Jo’ro. Berlayarlah mereka menaiki perahu Lembarang Pa’lampayya. Setelah sampai di Butung, tinggal lama dan bekerja sama dengan Kerajaan Buton, akhirnya mereka menuju ke barat, yaitu ke Batavia di negeri Jawa. Di sana mereka mencari teman yang dapat membantu mereka bersama melawan Kerajaan Gowa.

Saat itu, kompeni Belanda siap membantu Karaéngta Tunisombayya, tetapi terlebih dahulu mereka meminta bantuan pasukan Arung Palakka untuk membantunya melawan Kerajaan Pariyamang.

“Baiklah, Saudara. Saat ini saya punya lawan, yaitu Pariyamang. Kita lumpuhkan dulu mereka, kemudian kita ke timur membantu kalian menyerang Gowa,” seru kepala kompeni Belanda itu.

Pangeran Jo’ro Kembali dan Membebaskan Kerajaan Barasa dari Kerajaan Gowa

Peperangan di Pariyamang, Sumatera Barat membuahkan hasil. Pasukan Kompeni Belanda dibantu Pasukan Arung Palakka berhasil melumpuhkan Kerajaan Pariyamang. Arung Palakka sangat senang terutama kepada Pangeran Jo’ro karena telah berjuang mati-matian untuk kemenangan dalam medan perang itu.

Hingga suatu waktu, Arung Palakka memanggil Pangeran Jo’ro. “Wahai Pangeran Jo’ro, saya sangat mengagumi kepatriotanmu. Engkau layak mendapat penghargaan dariku. Engkau lebih layak jika kugelari Pangeran… ya, Pangeran Jo’ro. Hemmm, gelar apa yang harus saya berikan kepadamu, wahai Pangeran Jo’ro? Apakah saya beri engkau gelar Lomo I Bale, yang sederajat dengan gelar Karaéng? Atau saya beri engkau gelar Karaéng Allu atau Karaéng Barasa?”

Pangeran Jo’ro merasa tersanjung dengan pujian Arung Palakka. Ia pun merasa malu, karena sesungguhnya niatnya membantu Arung Palakka, untuk Kerajaan Barasa (Kerajaan Siang), bukan mencari tahta. Pangeran Jo’ro pun dengan santunnya, mengelak pemberian gelaran tersebut. “Ampun, Karaéng, sesungguhnya saya mengharapkan gelaran atau tahta tersebut, Karaéng. Saya hanya berharap Negeri Siang atau Barasa bisa kembali berjaya lagi seperti dulu.”

Arung Palakka terharu mendengar tuturan Pangeran Jo’ro yang tidak ambisius itu. Ia pun menawarkan gelaran lain.

“Bagaimana kalau saya beri gelar kepadamu Lomo I Bale? Ya, sepertinya gelaran lebih tepat untukmu saat ini. Saya berjanji, I Jo’ro, apabila kelak kita mendapat keberuntungan, dan cita-cita yang saya impikan kesampaian, yaitu mengalahkan Kerajaan Gowa, saya akan memberikanmu Kerajaan Barasa (Kerajaan Siang). Hanya kamulah yang pantas menggantikan Karaéng Allu dari kursi kekuasaannya di Kerajaan Siang. Wilayahnya sangat luas, meliputi sebelah selatan Binanga Sangkara, sampai pada sebelah utara jalan berbatasan dengan Tanete.”

Lalu, I Jo’ro hanya terdiam, termangu, tak menyangka penghargaan itu untuknya. Dia hanyalah hamba sahaya yang baginya tak layak mendapat gelaran sedemikian.

Kembali Arung Palakka menyerukan, “Sampaikan pula kepada Oppoka Paccellang dan empat bersaudara, hendaklah mereka mau ikut dengan saya mencari kedaulatan demi Kerajaan Barasa (Kerajaan Siang). Apabila saling menyetujui, kamulah yang akan menjadi lo’mo ataukah Oppoka Paccellang. Biarpun bukan engkau yang menjadi lo’mo, kamu tetap akan menjadi karaéng. Kalian harus bersepakat, bersepaham, dan beriring jalan dengan Oppo Paccellang. Jangan sampai tidak karena dialah yang memerintahkanmu ikut bersama-sama dengan saya.”

Sepulangnya dari Sumatra dan tiba di Batavia, Arung Palakka (Tunisombaya) pun mempersiapkan pasukannya bergerak ke timur, Sulawesi. Setelah tiba waktu yang ditetapkannya, berangkatlah Arung Palakka bersama pasukan Angke ke timur. Tidak ketinggalan Pangeran Jo’ro tergabung dalam pasukan Angke itu. Perahunya menuju ke tanah Makassar. Berita pergerakan Tunisombaya ke Makassar telah tiba di istana Gowa.

Seperti biasa, jika mendapat berita ada pasukan yang akan menyerang, Boto Lempangang akan segera naik ke istana Karaéng Gowa, di Maccinisombala.

Istana itu adalah sebuah istana yang indah, yang berhias dan berukir indah, serta bertatahkan emas. Setiap hari ruangannya diberi wewangian dan dialasi permadani. Ketika berada di istana, bernyayilah Boto Lempangang. “Niya songbali kucini, niyak longre kubatei Bonena Gowa, je’ne kalenna Lakiyung.”

Ada layar yang kulihat
Ada perahu kupandang
Isinya Gowa Air dari Lakiyung

Mendengar nyanyian Boto, serta-merta Karaéng Gowa pun bertanya, “Apa arti syair lagumu itu, wahai Boto Lempangang?”

“Sombangku, tinggal tiga hari lagi Tunisomba, Arung Palakka akan tiba membawa serta orangorang yang disebut Belanda. Itulah kompeni, orang yang pada suatu saat nanti akan mengambil dan menguasai Kerajaan Gowa. Sebaiknya, bergegaslah dan bersiaplah kita menghadapinya, Karaéng.”

Mendengar penyampaian Boto Lempangan, segera Karaéng Gowa memerintahkannya memanggil Karaéng Allu dari Barasa untuk segera menghadapnya agar membantunya melawan Arung Palakka dan kompeni. Saat Karaéng Allu akan ke Gowa menghadap Karaéng Gowa, I Lompapasang dan I Longakkang berpesan agar Karaéng Allu tidak membawa kalompowang (pusaka) karena itu adalah benda pusaka di Kerajaan Allu.

Mendengar imbauan tersebut, Karaéng Allu pun berpikir. Menurutnya, kalompowang itu adalah miliknya. Pada saat yang sama, empat bersaudara menekankan bahwa membawa kalompowang pada saat berperang sangatlah berisiko. Akhirnya, karena alasan empat bersaudara dapat berterima, kalompowang diserahkan kepada empat bersadara untuk disimpan, dijaga, dan jangan sampai menjadi bahan perselisihan di antara keturunan mereka.

Pada saat itu Karaéng Allu berpesan bahwa kalompowang kerajaan yang dimiliki orang Paccellang tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Kesepakatan itulah yang disebut Perjanjian Pappengkaengnga di Binanga Beruwa. Berangkatlah Karaéng Allu ke Gowa.

Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, tibalah dia di Gowa. Dia pun segera menghadap Karaéng Gowa dan menerima perintah untuk memperkuat pasukan Karaéng Gowa. Sehari setelah itu, tibalah pasukan Arung Palakka beserta kompeni Belanda. Tak ketinggalan Pangeran Jo’ro. Bahkan, Pangeran Jo’ro diberi kepercayaan untuk memimpin dan berada di posisi depan. Berkobarlah perang dengan dahsyatnya.

Pasukan Karaéng Gowa dan Arung Palakka berhadapan di medan laga. Kedua pasukan tersebut menunjukkan kekuatannya dan kehebatan armada perangnya masing-masing. Mereka silih berganti saling memukul mundur. Peperangan itu berlangsung cukup lama, banyak pula yang sudah menjadi korban di antara mereka. Hingga suatu waktu kemudian, tanda-tanda kekalahan Kerajaan Gowa sudah mulai tampak. Pasukan Arung Palakka pun semakin memperkuat perlawanan dan petahanan. Kekuatan kedua pasukan sudah tidak seimbang lagi. Hingga, pasukan Gowa mundur dari dari arena perang. Mereka pun kembali dan menarik mundur pasukannya.

Pasukan Arung Palakka memenangkan perang besar tersebut, yang kemudian dikenal dengan Perang Makassar. Kebesaran Gowa pun runtuh seketika. Nama besarnya pun tergeser oleh keharuman dan kehebatan Arung Palakka. Pasukan Arung Palakka pun bersorakbergembira. Mereka pun berpesta merayakan kebahagiaan dan kemerdekaan. Harapan dan impian Arung Palakka untuk menaklukkan Kerajaan Gowa terwujud.

Arung Palakka pun memberikan penghargaan kepada Pangeran Jo’ro. Karena dialah, pasukan Arung Palakka berhasil menaklukkan Kerajaan Gowa. Pangeran Jo’ro pun tak kalah bahagia karena hasratnya untuk memenangkan dan mengambil kembali Kerajaan Barasa atau Kerajaan Siang, sebagaimana janjinya kepada Oppo Pacellang sudah terwujud.

Cerita ditulis oleh Nuraidar Agus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *