Kereta berhenti berderak. Tanpa ada pengumuman bahwa stasiun pemberhentian kali ini sudah di Stasiun Sumpiuh. Untung saja aku sudah terbangun sejak di Kroya, terjaga dan awas pada pemberhentian-pemberhentian selanjutnya.
Rasanya masih teringat jelas pengalaman pertama kembali ke tanah leluhur di Tambak beberapa tahun silam. Sebab dalam kepulangan yang penuh kesendirian itu, aku jadi mengenal Menganti. Lucu saja rasanya, berkali-kali ke Jawa sejak kecil, tetapi yang kukenal dari Jawa hanyalah Pantai Ayah/Lo Gending.
Baca Dulu: Sinyal dan Analogi Puncak Mantar
Entah ada nostalgia apa bapakku dengan pantai itu, setiap kali menengok Mbah (yang dulu masih ada), liburannya hanya ke Baturraden-Goa Petruk-Jatijajar-Pantai Ayah. Tidak pernah ke tempat lain.
Nah, barulah kemudian aku mengenal Pantai Menganti, yang bukan hanya sekali saja kudatangi. Setelah kedatangan pertama, lahir kedatangan kedua dan ketiga. Pantai Menganti memang selalu membuatku ingin kembali.
Pantai Menganti ini sebenarnya sudah terletak di Kebumen. Bila dari Tambak, ia akan melewati jalur yang sama menuju Pantai Ayah, tetapi terus laju melewati jalanan menuju perbukitan. Jalanannya memang curam dan berkelak-kelok. Mungkin salah satu alasan bapak dulu tidak pernah mengajak kami ke sana adalah karena keterampilan menyetirnya (dan kekuatan mobilnya) belum memadai.
Ada cerita unik yang melatarbelakangi Pantai Menganti. Ya, asal nama Pantai Menganti lekat dengan dua kisah legenda setempat. Menceritakan persahabatan Wali Syekh Maulana Malik Ibrahim (salah satu Wali Songo) dengan Syekh Subakir.
Dikisahkan, kedua sahabat tersebut melakukan perjalanan menyebarkan agama Islam dengan terpisah. Mereka berjanji bertemu di pantai yang terkenal indahnya. Syekh Maulana sampai lebih dulu di pantai tersebut dan dengan setia menanti sahabatnya. Akhirnya, mereka pun bertemu dan melanjutkan perjalanannya masing-masing. Syekh Maulana dikisahkan kembali ke negeri Jazirah Arab, dan Syekh Subakir ke Gunung Tidar Magelang.
Kisah lain bercerita tentang seorang panglima perang Kerajaan Majapahit yang melarikan diri ke pesisir selatan. Ia melarikan diri karena hubungannya dengan pujaan hati yang tidak direstui sang raja. Mereka pun berjanji bertemu di tepi samudera berpasir putih nan indah itu. Sepanjang hari, sang panglima pun terus menanti pujaan hati yang ternyata tak kunjung tiba di atas bukit kapur sambil memandang ke laut lepas. Ia menanti dan selalu setia menanti.
Oleh karena itu pantai tersebut diberi nama Menganti yang berarti juga menunggu dengan setia.
Terlepas dari cerita tersebut, Menganti menawarkan pemandangan yang beragam. Salah satu spotnya adalah pantai berpasir putih dengan ombak yang bersahabat untuk peselancar pemula. Hanya saja kusarankan datanglah sangat pagi agar air masih surut. Kita jadi bisa menikmati pasirnya. Kelemahannya adalah adanya keberadaan karang tak jauh dari pesisir. Jadi, ya agak berisiko untuk berenang di pantai.
Nah, setelah puas bermain di pantai, kita bisa naik ke bukit. Untuk naik ke bukit ini, kita tidak boleh membawa mobil pribadi. Akan ada mobil wisata yang mengantar ke atas bukit. Namun, bila kita membawa motor, boleh dibawa parkir di atas bukit. Di atas bukit, ada banyak spot foto yang menarik lho. Di antaranya ada Watu Bolong, Lembah Menguneng, Tanjung Karang Bata, Mercusuar, dan Jembatan Merah.
Watu Bolong berarti batu bolong. Spot pertama ini berada di sebelah kiri bukit. Kita bisa ke bawah dan menyaksikan lengkungan pantai berbatu hitam. Di ujungnya ada karang besar yang seperti bolong. Bila air surut sepertinya kita bisa masuk ke karang tersebut.
Lembah Menguneng seperti lukisan. Di sisi bukit, sambil menghadap laut, berdiri banyak gazebo mungil. Bila angin kencang, buih ombak yang terempas karang akan terbawa angin sampai ke atas lho. Di situ kita bisa merasakan sensasi kesejukan yang berbeda.
Lalu ada Tanjung Karangbrata. Namanya saja Karangbata. Ini adalah sisi karang mendominasi sisi bukit. Kita bisa menyaksikan banyak karang di lautan yang menjadi penghalang ombak.
Hempasan ombak yang begitu keras menjadi pemandangan tersendiri. Seru pokoknya. Di atas sisi itu ada mercusuar. Mercusuar setinggi 20 meter ini merupakan peninggalan Belanda yang dibangun sekitar tahun 1912. Di ujung jalan kembali, ada jembatan merah. Entah siapa yang punya ide membangun jembatan merah itu.
Kalau sudah capek, kita bisa mencari makan di Menganti. Fasilitas di sini sudah terbilang lengkap. Jualan makanan laut sudah banyak dengan harga yang masih bisa diterima. Memang sih sedikit lebih mahal dibanding langsung beli di pasar ikan di Jetis. Tapi untuk ukuran tempat wisata, harganya masih terbilang murah. Ada banyak paket promo seafood yang dijual seperti kerang dan cumi.
Baca Juga: Catatan Perjalanan di Danau Toba
Tidak tahu persisnya kenapa, banyak pantai sudah kukunjungi: pantai-pantai di Aceh, Padang, Kepri, Belitung, Lampung, Kep. Seribu, Bali, Lombok, Sumbawa, hingga NTT, tapi hatiku tertaut dengan pantai Menganti. Kayak ada energi tersendiri yang mampu mengisi ulang ruhiyahku. Barangkali ada ikatan leluhur yang tak kasat mata, atau jangan-jangan hanya karena lobsternya terlalu menggoyang lidah. Entahlah.